Selasa, 19 Maret 2013

Dialog Sebagai Sarana Primer Drama dan Teater



1.  Pengertian  Drama dan Teater

Dalam pengertian luas drama merupakan kualitas komunikasi ,situasi,aksi dan emosi di atas pentas sehingga mampu menimbulkan perhatian, kehebatan dan ketegangan bagi para penonton. Berdasarkan penafsiran para ahli lainnya, drama juga memiliki beberapa pengertian. Moulton misalnya, mendefenisikan drama sebagai hidup yang di lukiskan dengan gerak.
            Sama halnya dengan drama ,teater juga berasal dari kata bahasa yunani, theatron yang berarti tempat. Ada juga yang menyatakan teater sebagai panggung. Akan tetapi, jika disandarkan secara etimologi, teater adalah gedung pertunjukan. Dalam arti luas, teater merupakan kisah kehidupan manusia dan kemanusiaanya yang di pertunjukan di depan orang banyak, misalnya : wayang orang, ludruk, lenong, reog dan dulmuluk, sedangkan dalam arti sempit, teater merupakan kisah kehidupan manusia dan kemanusianya yang di tuangkan dalam bentuk pementasan untuk di saksikan orang banyak melalui media gerak, percakapan, dan laku dengan atau tanpa dekorasi serta di dasarkan pada naskah tertulis yang di iringi atau tanpa musik.
            Sehubungan dengan itu, drama dan teater memiliki bentuk dan makna yang sama, tetapi berbeda acuanya. Kecenderungan drama memiliki pengertian pada seni sastra, dimana drama setaraf dengan genre lainnya, yaitu puisi dan prosa/esai.Mengingat drama juga berarti suatu kejadian atau  peristiwa tentang kehidupan manusia dan kemanusiaan yang di tampilkan pada  suatu pentas sebagai bentuk pertunjukan, maka drama menjadi  sebuah peristiwa teater. Dengan kata lain, teater dapat tercipta karena ada drama.




2.      Karakteristik Drama dan Teater
Sebagai mana sebuah karya, drama mempunyai karakteristik khusus, yaitu berdimensi sastra pada satu sisi yang lain. Sebagaimana yang telah disinggung pada bagian pengertian drama, meskipun kedua dimensi ini terlihat sebagai suatu yang berbeda – karana memang berbeda- namun kedua dimensi itu pada akhirnya merupakan suatu totalitas yang saling berkaitan dimensi yang satu mendukung dimensi yang lainnya demikian sebaliknya.
Sebagai salah satu genre, drama dibangun dan dibentuk oleh unsur-unsur sebagaimana terlihat dalam genre sastra lainnya, terutama fiksi. Secara umum sebagaiman fiksi mempunyai unsur yang intrinksik dan unsur yang mempengaruhi penciptaan karya yang tentunya berasal dari luar karya (ekstrinsik). Dengan demikian, kapasitas drama sebagai karya sastra haruslah dipahami bahwa drama tidak hadir begitu saja. Sebagai karya kreatif kemunculannya disebabkan oleh banyak hal. Kreatifitasan pengarang dan unsur realitas objektif (kenyataan semesta) sebagai unsur intrinsik mempengaruhi penciptaan drama sedangkan dari dalam karya itu sendiri cerita dibentuk oleh unsur penokohan, alur, latar, konflik-konflik, tema dan amanat. Serta aspek gaya bahasa. Menurut Damono (1983:114) ada tiga unsur yang merupakan satu kesatuan menyebabkan drama dapat dipertunjukkan yaitu: unsur naskah, unsur penokohan, dan unsur penonton.
Untuk membicarakan drama harus dipahami terlebih dahulu dari sisi apa ia ingin dibicarakan. Dari dimensi sastranya, seni pertunjukannya, atau keduanya sebagai suatu kepaduan karya drama. Untuk kepentingan analisis, masing-masing dimensi di dalam drama, apakah itu sebagai dimensi sastra atau sebagai dimensi seni pertunjukan dapat dibicarakan secara terpisah. Satu hal yang harus disadari bahwa keberhasilan drama pada suatu dimensi belum menjamin pada dimensi lain drama itu akan berhasil juga.
Hakikat drama sebagai karya dua dimensi tersebut akan menyebabkan sewktu drama ditulis pengarangnya, pengarang drama tersebut sudah harus memikirkan kemungkinan-kemungkinan pementasan, sedangkan sewaktu pementasan sutrdara tidak mungkin menghindar begitu saja dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam naskah. Pada saat inilah dapat dirasakan bahwa sebenarnya dimensi sastra dan seni pertunjukan pada karya dram merupakan suatu yang padu dan totalitas. Ketotalitasan dua dimensi di dalam drama tersebut itidak harus disalah artikan. Tidak benar menyebutkan pertunjukan drama di panggung pertunjukan sebagai suatu karya sastra atau genre sastra. Demikian pula sebaliknya, ketika berhadapan dengan drama sebagai teks, tidak benar jika menganggapnya sebagai seni pertunjukan. Tidak benar juga seandainya teks tersebut dianalisis berdasarkan unsur-unsur seni pertunjukan. Lain halnya jika yang dibahas kemungkinan pementasan dari teks tersebut. Dari hasil perbandingan genre sastra drama dengan genre sastra fiksi dan puisi didapatkan kekhususan karakteristik drama sebagai diperinci dalam uraian berikut.

1.      Drama, karena karakteristiknya pengembangan unsur –unsur yang membangunnya dari segi genre sastra terasa lebih lugas, lebih tajam, dan lebih detil, terutama unsur penokohan dan perwatakan.
2.      Pengarang tidak secara leluasa mengembangkan kemampuan imajinasinya dalam drama. Artinya jika pengarang ingin melukiskan suatu kehidupan di alam tertentu yang secara konvensional belum dapat diterima logika umum amatlah sulit. Pengarang juga tidak mungkin mengembangkan sesuatu yang abstrak misalnya isi pikiran seseorang, perasaan hati seseorang.

3.      Dalam dimensi sebagai seni pertunjukan, drama dapat memberi pengaruh emosional yang lebih besar dan terarah kepada penikmat jika dibandingkan dengan genre sastra lannya. Dengan menyaksikan secara langsung peristiwa di atas pentas, unsur emosional penikmat lebih mudah di gugah atau tergugah.
4.      Keterkaitan dimensi sastra dengan dimensi seni pertunjukan mengharuskan para actor dan pemain menghidupkan tokoh yang di gambarkan pengarangnya lewat apa-apa yang diucapkan tokoh-tokoh tersebut bentuk dialog-dialog.
5.      Unsur panggung  membatasi pengarang menuangkan imajinasinya. Namun demikian, panggung juga dapat memberi kesempatan sepenuhnya kepada pengarang untuk dapat mempergunakannya agar menarik dan memusatkan perhatian penikmat dan penonton pada suatu situasi tertentu, yaitu situasi panggung.
6.      Bentuk yang khusus dari drama adalah keseluruhan peristiwa disampaikan melalui dialog.
7.      Konflik kemanusian menjadi syarat mutlak. Tanpa konflik peristiwa tidak akan bergerak satuan-satuan peristiwa dapat berjalan dan menciptakan alur atau plot dalam bentuk dialog jika satuan-satuan peristiwa itu dikontroversikan melalui konflik-konflik.
8.      Drama tidaklah diangap sebagai suatu genre sastra murni sebagaimana genre fiksi dan genre puisi.
9.      Dimensi seni pertunjukan pada derama, disamping memiliki nilai keunggulan memiliki pula segi kelemahan. Keunggulan adanya dimensi seni pertunjukan pada derama adalah peristiwa dapat disaksikan langsung secara konkret, sedangkan kelemahannya dibanding dengan fiksi dan puisi pertunjukan derama tidak dapat dinikmati untuk yang kedua kalinya dengan suasana dan situasi emosi yang sama.
10.  Sutradara, aktor, dan pendukung pementasan harus secara arif menafsirkan dan berusaha setuntas mungkin untuk memvisualisasikan tuntutan teks derama.

3.  Dialog Sebagai Sarana Primer Drama dan Teater

Di dalam sebuah drama, dialog merupakan sarana primer. Maksudnya, dialog di  dalam drama merupakan situasi bahasa utama. Luxemburg, dan kawan-kawan (1984: 160) menyebutkan bahwa doalog-dialog di dalam drama merupakan bagian terpenting dalam sebuah drama, dan sampai taraf tertentu ini juga berlaku bagian-bagian monolog-monolog. Memang kalau disaksikan pada pokoknya sebuah drama dalamah rangkaian dilaog- teks- teks para aktor – dan tidak ada seorang juru cerita yang langsung menyapa penikmat atau penonoton.
            Drama-drama yang masih berlandaskan pada konvensi, unit-unit dialog diucapkan oleh masing-masing tokoh secara bergiliran, bergantian dan tertib. Dialog-dialog terikat pada para tokoh atau pelaku akan terjadi silih berganti. Tokoh atau pelaku yang satu dengan sabar akan menanti giliran berbicara. Ia berbicara karena memang harus bicara bukan karena ingin berbicara saja. Contoh untuk dialog –dialog semacam ini misalnya pada drama Bunga Rumah Makan (Utuy Tatang Sontani). Drama tersebut memang relatif ditulis telah cukup lama. Dialog-dialog pada jenis drama yang mengikuti atau mematuhi konvensi ini, disamping merupakan dialog yang “tertib”, juga logika dialog dapat dengan mudah dicerna. Di pihak lain ada drama yang dapat disebutkan sebagai kurang mematuhi konvensi. Pada jenis drma ayang ditulis dengan tidak mematuhi konvensi. Pada jenis drama yang ditulis dengan tidak mematuhi konvensi yang umum, di dalamnya tidaklah ditemukan situasi dialog yang bergiliran, bergantian, dan tertib. Pada drama-drama yang tidak mematuhi konvensi ini, dioalog menjadi “tidak tertib”. Artinya tokoh atau aktor dapat berbicara dengan bahan yang tidak sama. Untuk menemukan dialog jenis ini dapat dilihat dialog-dialog pada drama-drama Putu Wijaya seperti Aduh.
            Drama-drma ayang ditulis dengan “tidak mematuhi” konvensi penulisan drama yang umum, biasanya kurang mementingkan aspek cerita tetapi lebih mengutamakan suasana yang dapat dimunculkan untuk mempengaruhi penikmat atau penonton. Drma ajenis ini – karena dialognya- lebih mengutamakan bagaimana memberikan kesan bahwa faktor suasana, ide, dan konsep di atas pentaslah yang menjadi tumpuan utama. Unsur cerita bukan tidak penting sama sekali, namun seperti dapat “diabaikan”. Jika pada akhirnya penonton mendapatkan “sesuatu”, katakanlah terhibur dari drama semacam ini, dapat dikatakan bahwa tentulah itu karena dari penikmat atau penonton.
            Bagaimanapun bentuk dialog yang dapat ditemukan di dalam karya drama – yang beragam coraknya itu – yang harus dipahami adalah betapa penitngnya unsur dialog bagi sebuah drama. Di dalam cerita paparan, naratif (fiksi), unsur cerita dan pembeberan amat menonjol dan dimonan. Di dalam drama, dialoglah yang menempatkan dirinya sebagai unsur utama.
            Di dalam cerita paparan atau teks-teks naratif ditemukan di dalamnya mengenai suatu kejadian atau peristiwa. Di dalam drama tidak demikian halnya. Di dalam drama yang ditemukan bukan mengenai peristiwa tetapi kejadian atau peristiwa itu sendiri ( lebih konkretnya di atas pentas). Bagian penting di dalan dialog-dialog tidak hanya terjadi pembicaraan mengenai suatu peristiwa, dialog-dialog itu sendiri merupakan suatu peristiwa atau kejadian.
            Keberhasilan penonton menyaksikan peristiwa itu sendiri dan bukan mengenai peristiwa amat tergantung kepada personil pementasa. Sutradara sebagai interpretator serta pengarah pementasan ,pemain, sarana pendukung pentas lainnya serta kelengkapan panggung dan asesoris merupakan hal-hal yang dimaksud. Namun begitu, hal yang penting dari semua, tanpa mengenyampingkan faktor lainnya adalah dialog-dialog  yang diucapkan atau diujarkan para pelaku. Kanya dialog-dialog yang diucapkan dengan baik, benar, serta tepat ujarannya sajalah yang dapat mengarahkan penonton kepada situasi penyaksian peristiwa atau kejadian.
            Dialog-dialog yang gagal, mingkin karena diujarkan dengan tergesa-gesa atau kurang baik pelafalannya serta intonasinya, hanya akan membuat situasi penghadiran peristiwa kepada penonton menjadi gagal. Untuk menghindari kegagalan semacam ini, biasanya para pelaku- aktor dan aktris- harus dibekali dengan kemampuan sesuai dengan tuntutan pementasan.
            Sebagai sarana primer di dalam drama, dialog dapat menentukan ingin seperti apa warna secara keseluruhan drama tersebut. Dialog-dialog yang ditulis panjang-panjang dengan mempergunakan ragam bahasa dan gaya tertentu akan berbeda dengan dialog yang ditulis pendek-pendek dan ringkas. Jenis dialog yang demikian yang diselaraskan dengan ragam dan gaya bahasa yang dipergunakan oleh para pengarang  juga akan mempengaruhi seperti apa gerak laku yang mesti dilakukan oleh para pemain pentas. Tuntutannya memanglah demikian, karena antara gerak laku dan ujaran serta isi dialog haruslah serasi. Gerak laku mesti mendukung dialog “sewajarnya”, dan dialog mestilah menciptakan gerak laku yang dapat didukungnya. Walaupun begitu, umumnya gerak lakulah yang mesti disiapkan untuk mendukung dialog. Hal ini disebabkan meskipun unsur gerak laku juga pneting, tetapi dialog meruapakan unsur yang lebih utama.
            Dialog yang mngesankan disamping karena rekayasa bahasanya, juga karena dialog- dialog tersebut berhasil memberikan gambaran tentang watak dan dasar sifat manusia. Kepiawaian pengarang dalam menentukan kata, melakukan diksi, pada dialog-dialog para tokohnya sehingga dengan kerjanya tersebut tercerminlah siapa tokoh-tokoh dan bagaimana katrakter manusia yang beraneka ragam lewat ujaran-ujaran mereka amatlah mengasikkan.
           
Fungsi dialog
  1. Secara universal, dialog sebagai sarana primer di dalam drama berfungsi sebagai wadah bagi pengarang untuk menyampaikan informasi, menjelaskan fakta atau ide-ide utama
  2. Alur adalah rentetan peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain dalam hubungan sebab akibat. Dialog memberikan tuntutan alur kepada penikmat dan penonton, melalui dialoglah penikmat atau penonton mengetahui apa dan bagaimana peristiwa bergulir.
  3. Dialog memberikankejelasan watak dan perasaan tokoh atau pelaku.
  4. Menciptakan serta melukiskan suasana merupakan fungsi lainnya dari dialog di dalam drama.











  





DAFTAR PUSTAKA                      


Hasanuddin Ws. 1996. DRAMA, Karya Dalam Dua Dimensi. Bandung  : Angkasa

Azhari, Muhammad. 2009. Manajemen Teater : Perencanaan dan Pementasan Drama/Teater di Perguruan Tinggi dan Sekolah Menengah. Palembang : Universitas Sriwijaya




















           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar